Dear,
Kami sadar kejenuhan itu selalu hadir menghampiri. Ini seperti jalinan kasih sayang yang semu. Begitu jauh dan tak saling memahami. Begitu rentan karena tak benar-benar membutuhkan. Begitu sedih karena mereka memandang kami bahagia.
Memang, aku bukan menjadi prioritasmu. Tapi entah mengapa kamu selalu menjadi prioritas utamaku. Mungkin karena kami jauh. Tidak bersama dalam sebuah jalan yang nyata. Dan peranku disini hanya sebagai pendamping.
Aku mau seperti mereka yang selalu bisa membuatmu kuat. Mereka yang selalu bisa menenangkanmu. Mereka yang selalu bisa memelukmu saat kau menangis. Mereka yang membuatmu tersenyum saat kau sedih. Tapi aku sadar bahwa aku bukanlah mereka.
"Dia tidak butuh kamu."
Begitu kata-kata yang terlontar dari mulut disekelilingku.
"Berhentilah pada titik ini, sekuat apapun kau bertahan, hasilnya akan sama."
Kalimat yang terus menerus membuatku sedih.
Aku tidak mau berhenti, aku mau terus melanjutkan.
Begitu sulit memahami, mengerti, dan menyadari.
Tapi akan terus mencoba hingga titik ikhlasku.
Aku selalu memikirkanmu disela-sela kesibukanku. Jangan melarangku melakukan kesibukan ini. Karena hanya ini yang membuat hidupku sedikit berwarna.
Dan disini, orangtua ku tak bisa selalu memelukku saat aku jatuh dan sendiri. Makanya seluruh tumpuanku jatuh di kamu. Dan berharap kamu bisa membimbingku.
Sekarang aku mulai mengerti, keegoisanku itu harusnya hilang. Perlahan aku mulai berdiri sendiri tanpamu.
Aku bingung bagaimana harus menyikapimu. Kadang selalu saja tampak tidak berguna.
Aku hanya bisa mendoakanmu dan orang-orang yang kamu sayang disekitar sana, dari sini.
yours,
----
nice :')
BalasHapusthanks :D
Hapus